Ibuku Secantik Senja - Selow Aje

Updates

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Tuesday, January 30, 2018

Ibuku Secantik Senja


Sebelum membaca artikel ini saya sarankan untuk menyiapkan tisue terlebih dahulu, artikel ini mungkin bisa membuat sedikit menitihkan air mata atau setidaknya mata anda berkaca-kaca setelah membaca artikel ini.

Ibu... dimanapun aku berada selalu inggat ibu....

Aku masih melihat tatapan kosong adikku. Ia sering melakukannya saat senja. Seperti sudah menjadi ritual penting baginya untuk menjadikan senja sebagai pelarian. Beberapa kali ia bertanya seperti apa wajah ibu? Aku hanya bisu yang bisa kujawabkan kepadanya. Tapi adikku malah bersihkukuh mencarinya pada senja. Katanya ibu pasti secantik senja-senja sore hari. Aku miris dan sedih melihatnya. 

Ibu telah meninggal sejak adikku masih belum selesai menyusuhi seperti bayi-bayi pada umumnya. Karena ibu mulai sakit-sakitan. Ibu yang sebelumnya kulihat sebagai wanita yang tegar dan kuat. Tergolek lemah di atas kasur seperti tengkorak hidup. Tubuhnya sangat kurus sekali, dan wajahnya cekung. Meski masih kulihat sedikit raut kecantikannya di masa mudanya. Ibu waktu itu sudah seperti tulang terbungkus kulit. Matanya yang hanya bisa berisyarat. Seperti selalu memberikan isyarat kepadaku. Sebuah isyarat agar aku kelak menjadi pribadi yang tangguh. Jika ia akan benar-benar dipanggil oleh Tuhan di usianya yang relatif muda. Satu lagi yang bisa kutangkap isyarat dari isyarat matanya yang sayu. Yaitu aku harus bisa menjaga adikku yang masih terlalu kecil. 

Tidak butuh waktu terlalu lama ibuku benar-benar dipanggil Tuhan. Malaikat mencabut nyawa ibu disaat senja menyelimuti malam. Ayah datang kepadaku dengan menangis. 
“Nak, kau sudah kehilangan ibumu.’ Awalnya aku berusaha untuk tegar tidak menangis. Tapi tangisan ayah memaksaku untuk mengeluarkan butiran-butiran kecil ketegaranku itu. Yang akhirnya meretih satu persatu dan mulai menggenangi sungai-sungai di tubuhku. Seperti mengombak tangisku sudah membasahi baju ayah. Karena tiba-tiba ayah memelukku erat. Ia merasa terpukul dan sangat kehilangan. 

“Ibu cantik ya kak?” Tanya adikku, kemudian setelah senjanya mulai menghilang. Aku pun menghentikan lamunan sejarah pedih ibu. “Ya, ibu sangat cantik sekali,” Jawabku sekenanya. Semoga ia puas. 
“Secantik senja?” 
“Ya.” 

Sepertinya jawaban yang kuberikan belum membuat adikku puas. Sebab ia tidak sedikit pun mengetahui wajah ibu seperti apa? Dan ia pernah berkata, tidak akan pernah merasa puas sebelum melihat langsung wajah ibu. Mirisnya tak ada peninggalan foto ibu yang bisa ia lihat. Foto-foto itu menghilang seiring dengan menghilangnya rumah kami yang hangus terbakar beberapa hari setelah ibu tiada. 

Masih teringat jelas kejadian itu di mataku, mata ayah yang belum kering karena kehilangan ibu dan saat itu harus menerima kehilangan rumah beserta isinya karena tabung gas tetangga. Kejadian konyol yang belum bisa kuterima sampai saat ini. Aku bukan lagi seseorang anak yang lemah sejak saat itu. Berusaha tersenyum di depan ayah dan membuatnya kuat bukanlah hal yang mudah. 

Hari-hari tanpa ibu seperti layar hitam putih tanpa warna, yang dihiasi semut-semut sehingga membuatnya semakin ribut. Mungkin hanya senja yang indah dimata kami, karena senja ibu tiada, dan karena senja cahaya berubah menjadi asa. Tapi benarkah senja dapat disandingkan dengan kecantikan ibu? Andai aku pun bisa berkata. Bahwa aku sangat merindukan ibu, bahkan melebihi kerinduan adikku kepada ibu. 

Malam ini seperti biasa jika ia sedang di landa rindu. Ia mengajakku untuk melihat dan menikmati senja. Senja yang menurutnya menjadi penawar kerinduan kepada ibu yang tak pernah ia lihat. Seorang ibu yang ia rindukan membelai rambutnya, dan akan menemaninya ketika tidur. Memeluknya dengan erat. Dan akan selalu menciuminya sebagai tanda rasa sayang. 

Aku sudah tidak tahan lagi memandangi pandangan kosong adikku. Tanpa terasa ketegaranku pun luruh untuk kedua kalinya. Yang pertama ketika ibu meninggal, dan yang kedua ketika adikku mulai menangis. Tanpa terasa aku pun ikut mengeluarkan kristal kecil dimataku. Tapi tangis adikku lebih mengiris lagi. Ia memendam wajah di tubuhnya sambil sesungukan. Terdengar samar dalam tangisannya kata-kata “Aku rindu ibu.” Perlahan, kemudian ia membalikan tubuhnya saat kudekati. 

“Kak, apakah ibu melihatku? Apakah ibu juga merindukanku.” Aku hanya tersenyum kecil dan kemudian mengngguk. Sepertinya ia sedikit merasa puas dengan jawabanku. 


Karya Sahabatku : Linggo Wibowo

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here